Loading
Tampilkan postingan dengan label Penyakit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penyakit. Tampilkan semua postingan

Mengatasi Serangan Keriting pada Tanaman Cabai


Gejala daun mengeriting pada tanaman cabai dapat disebabkan oleh serangan hama Thrips dan Mite, yaitu kutu daun. Serangga menyerap cairan pada daun, terutama daun muda sehingga daun tidak dapat tumbuh normal dan nampak mengeriting. Jika ditemukan gejala daun mengeriting ke atas maka penyebabnya adalah serangga Thrips. Sedangkan gejala daun mengeriting ke bawah maka penyebabnya adalah serangga Mite.


Gejala serangan ini banyak ditemukan pada musim kemarau, hal ini karena terjadi ledakan siklus hidup kutu daun. Jika kita tidak segera mengatasi serangan serangga ini maka tanaman kita tidak akan tumbuh normal. Dan jika dibiarkan tunas-tunas baru akan mati sehingga tanaman tidak dapat berproduksi dengan baik. Untuk mengatasi serangan serangga tersebut, yang dapat kita lakukan berikut ini Tipsnya :

1.      Membuat border atau pagar disekeliling lahan cabai, border yang dapat kita pakai adalah tanaman jagung atau dengan memasang pagar berupa plastik setinggi 1,5 – 2 m. Tanaman jagung ditanaman 1 bulan sebelum tanaman cabai. Pagar plastik dioles dengan minyak goring, agar serangga menempel pada plastik.
2.      Melakukan penyemprotan tanaman yang terserang dengan air pada pagi dan sore hari. Hal ini dimaksudkan agar serangga tidak aktif untuk berkembang biak. Sehingga tidak terjadi ledakan hama.
3.      Mengontrol serangga dengan menyemprot pestisida. Bahan kimia yang saya rekomendasikan adalah campuran bahan aktif Abamektin dan Imidakloprit dengan perbandingan bahan 1:1 .
4.      Jika tanaman sudah terlanjur terserangan dan pertumbuhannya terlihat tidak normal maka setelah serangga dikontrol dengan pestisida maka dilanjutkan dengan penyemprotan hormon pemacu pertumbuhan seperti GA3,  Atonik, atau pupuk daun.  

Penyakit Vibriosis pada Udang

Penyakit Vibriosis pada Udang
Penyebab : Vibrio harveyiiV. alginolyticusV. parahaemolyticus. dll.

Bio – Ekologi Patogen
• Vibriosis pada larva udang umumnya sebagai penginfeksi sekunder terutama pada saat dalam keadaan stress dan lemah.
• Infeksi bakteri ini biasanya berkaitan dengan kondisi stress akibat: kepadatan tinggi, malnutrisi, penanganan yang kurang baik. infeksi parasit, bahan organik tinggi, oksigen rendah. kualitas air yang buruk. fluktuasi suhu air yang ekstrim. dll.
• Serangan bersifat akut, dan apabila kondisi lingkungan terus merosot, kematian yang ditimbulkannya bisa mencapai 100%. terutama pada stadia post larva atau juvenil.

Gejala klinis :
• Tubuh udang nampak kusam dan kotor.
• Nafsu makan menurun, kerusakan pada kaki dan insang, atau insang berwarna kecoklatan.
• Jenis bakteri Vibrio spp. yang berpendar umumnya menyerang larva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar (luminescent vibriosis).
• Udang yang terserang menunjukkan gejala nekrosis, kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, bercak merah (red discoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada malam hari terlihat menyala
• Udang yang terkena vibriosis akan menunjukkan bagian kaki renang (pleopoda) dan kaki jalan (pereiopoda) menunjukkan melanisasi.
• Udang yang sekarat sering berenang ke permukaan atau pinggir pematang tambak.

Diagnosa :
• Isolasi dan identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia.

Pengendalian :
• Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan udang
• Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan
vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan
• Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
• Pengelolaan kesehatan udang secara terpadu

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010
budidaya ikan

Pengendalian Penyakit Londoh / Busuk Daun Pada Tananman Kentang

Pengendalian Penyakit Londoh / Busuk Daun Pada Tananman Kentang
Penyakit busuk daun tanaman kentang atau yang oleh petani di Kedu, Wonosobo disebut Lodoh merupakanpenyakit yang paling serius di antara penyakit dan hama yang menyerang tanaman kentang di Indonesia. Penyakit lodoh ini disebabkan oleh serangan jamur patogen ganas Phytophthora infestans yang dapat menurunkan produksi kentang hingga 90% dari total produksi kentang dalam waktu yang amat singkat. Sampai saat ini kapang patogen penyebab penyakit busuk batang dan daun tanaman kentang tersebut masih merupakan masalah krusial dan belum ada fungisida g yang benar-benar efektif terhadap penyakit tersebut. Penelitian ini bertujuan mengoleksi dan mengidentifikasi jamur-jamur tanah isolat lokal yang bersifat antagonis terhadap patogen penyebab penyakit busuk daun dan umbi tanaman kentang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab penyakit busuk daun dan umbi tanaman kentang di daerah sentra pembibitan tanaman kentang di Kedu Temanggung Jawa Tengah adalah Phytophthora infestans. Terdapat 17 isolat jamur tanah isolat lokal yang dapat diisolasi dari tanah di sentra pembibitan tanaman kentang tersebut. Dari 17 isolat jamur ini dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok isolat yang berbeda morfologi koloninya. Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa dari 4 kelompok jamur tanah tersebut adalah dari marga Trichoderma spp, Aspergillus sp, Pennicillium sp Phytophthora infestans. Terdapat satu buah jamur yang belum dapat diidentifikasi.

PENDAHULUAN
Kentang adalah salah satu komoditi andalan sektor pertanian di Indonesia dan semakin meningkat  permintaannya akhir-akhir ini. Peningkatan ini untuk mencukupi kebutuhan bahan pengganti makanan pokok (beras) maupun sebagai bahan baku industri, selain itu untuk mengatasi harga beras yang semakin tinggi serta mengurangi impor bahan pangan beras yang telah menghabiskan devisa negara dalam jumlah besar (Anonim, 2002). Salah satu prioritas pengembangan agribisnis kentang di Indonesia adalah di Jawa Tengah (Wonosobo), namun produksinya masih rendah oleh serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya kapang patogen Phytophthora infestans penyebab busuk daun dan umbi tanaman kentang (Rukmana, 1997). Secara bertahap dan berkesinambungan penelitian intensif terhadap komoditas kentang mendapat perhatian dan prioritas. Pengembangan agribisnis kentang diprioritaskan antara lain di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan.
Penyakit merupakan salah satu faktor pembatas penting pada budidaya tanaman kentang. Penyakit busuk daun tanaman kentang atau yang oleh petani di Wonosobo dan Dieng disebut Lodoh merupakan penyakit yang paling serius di antara penyakit dan hama yang menyerang tanaman kentang di Indonesia (Katayama & Teramoto, 1997; Zazali, 2004). Penyakit lodoh disebabkan oleh serangan jamur patogen ganas Phytophthora infestans ini dapat menurunkan produksi kentang hingga 90% dari total produksi kentang dalam waktu yang amat singkat. Sampai saat ini kapang patogen penyebab penyakit busuk batang dan daun tanaman kentang tersebut masih merupakan masalah krusial dan belum ada varietas kentang yang benar-benar tahan terhadap penyakit tersebut (Cholil, 1991). Menurut Djafaruddin, 2000, penyakit busuk daun/ batang (late blight) tanaman kentang sangat berpotensi terjadi pada daerah dingin dan lembab karena kapang patogen yang menyebabkannya mudah tumbuh dan berkembang baik pada kondisi dingin. Penyebab penyakit busuk daun ini adalah kapang patogen Phytophthora infestans. Kapang dapat menyerang daun, batang, juga umbi di dalam tanah. Kapang patogen Phytophthora infestans bukan merupakan kapang asli tanah, namun biasa menyerang organorgan tanaman kentang di dalam tanah dan di atas tanah (daun, batang, cabang, akar dan umbi).
Penyebaran spora/ patogen kapang melalui angin, air atau serangga. Jika spora sampai ke daun basah, ia akan berkecambah dengan mengeluarkan zoospora atau langsung membentuk tabung kecambah, kemudian masuk ke bagian tanaman, dan akhirnya terjadi infeksi. Spora yang jatuh ke tanah akan menginfeksi umbi, dan
pembusukannya bisa terjadi di dalam tanah atau di tempat penyimpanan. Kasus penyakit busuk daun biasanya sering terjadi di daerah dataran tinggi yang bersuhu rendah dengan kelembaban tinggi (Alexopoulos, et al., 1996 ). Selain itu penyebaran spora patogen Phytophthora infestans dipicu oleh keadaan lingkungan udara yang relatif lembab (di atas 80% seperti keadaan lingkungan di Wonosobo). Patogen tersebut juga dapat bertahan hidup di dalam umbi dan batang tanaman kentang sehingga infeksi pada umbi dapat terbawa sampai ke gudang penyimpanan (Adijaya, 2001). Gejala pada daun berupa hawar (blight) atau bercak berwarna abu-abu yang berukuran besar dengan bagian tengahnya agak gelap dan agak basah. Gejala serangan pada leher akar dan akar berupa busuk berwarna hitam. Serangan pada umbi berupa busuk basah umbi yang berwarna abu-abu atau hitam. Apabila umbi diinkubasikan dalam temperatur 15 - 20oC, akan muncul konidia yang dibentuk dalam jumlah banyak, berupa tepung berwarna keabuan (Cholil, 1991).

Pengendalian penyakit busuk daun, busuk batang atau busuk umbi (late blight) oleh jamur patogen Phytophthora infestans, selama ini dilakukan dengan menyemprotkan fungisida sintetik Sandofan MZ 10/56 WP dengan konsentrasi yang dianjurkan, Benlate dengan konsentrasi yang dianjurkan dan Kocide 54. Kebiasaan para petani menyemprot pestisida secara serampangan menyebabkan timbulnya strain baru dari kapang-kapang patogen tersebut yang ditunjukkan adanya kekebalan kapang itu terhadap fungisida sintetis tertentu atau dosis efektif, fungisida sintetis dapat mencapai dua kali dosis anjuran. Untuk menghindari kondisi yang lebih parah, tindakan yang perlu dilakukan adalah mengganti fungisida yang biasa dipakai dengan fungisida yang berbeda bahan aktif dan cara kerjanya (mode of action). Pemakaian fungisida alternatif yang berisi kultur campuran kapang antagonis belum pernah dilakukan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pendahuluan tentang efektivitas dan potensi kapang antagonis Pseudomonas fluorescense untuk mengendalikan kapang patogen Phytophthora infestans secara in vitro.

Pengendalian penyakit dengan fungisida dan bakterisida sintetis oleh para petani kentang selama ini tidak efektif dalam mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh kapang patogen, banyak masalah yang merugikan bagi kehidupan manusia secara langsung atau tidak langsung diantaranya menimbulkan residu yang melekat pada hasil tanaman yang akan mengganggu kesehatan konsumen, pencemaran lingkungan serta membunuh organisme lainnya yang bukan sasaran. Penggunaan agen hayati berbahan baku biofungisida sehingga menjadi alternatif yang tepat untuk mengendalikan mikroba patogen penyebab penyakit pada tanaman budidaya. (Arwiyanto, 2003).

Agensia hayati meliputi organisme dan11 substansi yang dihasilkan yang dapat digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu yang merugikan (Anonim, 1996 dalam Marwoto, 2001). Salah satu jenis biopestisida adalah biofungisida berbahan aktif mikroorganisma sel jamur antagonis Trichoderma spp, yaitu fungisida penghambat pertumbuhan kapang patogen penyebab penyakit tanaman budidaya yang diharapkan efektif mengendalikan serangan kapang patogen Phytophthora infestans tanaman kentang serta aman bagi tanaman budidaya sebagai tanaman bukan sasaran. Jamur antagonis Trichoderma spp dapat diisolasi dari tanah lokal, termasuk jamur selulolitik sejati karena mampu menghasilkan komponen selulase secara lengkap. Jamur tanah ini terdiri dari sembilan jenis yaitu T. piluliferum, T. polysporum, T. koningii, T. auroviride, T. amantum, T. harzianum, T. longibrachiatum, T. pseudokoningii, dan T. viride (Rifai, 1969 dalam
Salma & Gunarto, 1999). Jamur-jamur antagonis tanah isolat lokal seperti Trichoderma spp dilaporkan mempunyai aktivitas antagonisme yang kuat terhadap jamur patogen dengan mekanisme hiperparasitismenya dan antibiosisnya sehingga efektif menghambat pertumbuhan kapang patogen  tanaman dengan mendegradasi dinding selnya. Dinding sel kapang patogen menjadi rusak kemudian mati melalui aktivitas enzim kitinasenya. Beberapa enzim kitinolitiknya hanya toksik pada kapang patogen penyebab penyakit tanaman budidaya tetapi namun tidak pada mikroorganisma lain dalam tanah dan tumbuhan inang (Kloepper et al., 1989).

Menurut Salma dan Gunarto (1999), Trichoderma spp mempunyai kemampuan menghasilkan enzim selulase  sehingga dapat merusak dinding sel kapang patogen pada kelompok jamur famili Pythiaceae seperti Phytophthora infestans. Selain itu kapang tanah Trichoderma spp mempunyai kemampuan melakukan pelilitan dan penetrasi hifa patogen serta menghasilkan antibiotik yang bersifat toksin bagi patogen lawannya (Dennis  & Webster, 1971 dalam Salma dan Gunarto, 1999). Mekanisme antibiosis dilakukan dengan menghasilkan antibiotik yang bersifat toksin untuk membunuh P. infestans. Mekanisme antibiosis tergantung dari jenis dan sifat tanah sebagai substrat tumbuhnya. T. viride lebih suka pada kondisi tanah yang asam, apabila T. viride ini terdapat pada tanah yang asam kemungkinannya untuk memproduksi antibiotik lebih tinggi (Djafarudin, 2000).

T. viride umum digunakan untuk pengendalian patogen dalam bentuk tepung yang diaplikasikan dengan dosis  100 kg/ha (Anonim, 2001). Keunggulannya yang lain adalah sebagai sebagai bioprotektan bagi tanaman muda HTI serta perkebunan. Beberapa keuntungan dari penggunaan biofungisida tersebut adalah mudah dimonitor dan berkembang biak, sehingga keberadaannya di lingkungan dapat bertahan lama serta aman bagi lingkungan, hewan dan manusia karena tidak menimbulkan residu kimia berbahaya yang persisten di dalam tanah atau terakumulasi di dalam makanan hasil budidaya pertanian (Yuliani, 2002).

Penelitian bertujuan untuk untuk mengetahui kemampuan jamur-jamur antagonis tanah isolat lokal dalam menghambat pertumbuhan kapang patogen Phytophthora infestans secara in vitro. Selain itu, penelitian  dimungkinkan  dilanjutkan dengan uji antagonisme antara jamur patogen dan jamur antagonis isolat lokal yang
telah diketahui paling kuat kemampuan antagonismenya dengan mengetahui efektifitas pengaruh inokulasi jamur antagonis isolat lokal tsb terhadap pencegahan thd infeksi oleh kapang patogen Phytophthora infestans pada tanaman kentang yang ditanam di rumah kaca. Pemanfaatan agen hayati jamur tanah isolat lokal merupakan suatu usaha diversifikasi penggunaan bahan aktif sebagai bahan baku untuk biofungisida. Diversifikasi bahan aktif biofungisida perlu dilakukan, mengingat Indonesia sebagai negara tropis mempunyai potensi menghasilkan jenis agen hayati yang tinggi keanekaragamannya.

Biofungisida yang berisi mikroorganisma jamur antagonis isolat lokal sebagai bahan aktif utamanya, secara ekonomi penggunaannya lebih murah dan efektif dibandingkan dengan fungisida kimiawi, karena sekali diintroduksikan ke dalam tanah atau medium pembawa yang tepat akan dapat bertahan dalam periode yang cukup lama. Selain itu aplikasinyapun dapat dilakukan seperti aplikasi pada fungisida kimiawi. (Yuliani 2002).

BAHAN DAN METODE
Penelitian in vivo dilakukan di rumah kaca Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Kedu, Temanggung dan penelitian in vitro dilakukan di Laboratorium Mikrobiogenetika Jurusan Biologi FMIPA Universitas Diponegoro.
1. Isolasi dan identifikasi jamur-jamur antagonis tanah lokal
Isolat jamur-jamur antagonis isolat lokal diisolasi dari tanah tempat tanaman kentang tumbuh baik yang teridentifikasi sakit ataupun yang tidak oleh patogen Phytophthora infestans. Isolasi dilakukan pada lahan  pertanaman kentang yang sakit dan yang tidak terinfeksi Phytophthora infestans. Isolasi dilakukan dengan cara isolasi langsung (direct plating), yaitu : tanah lokal diambil dan diletakkan pada cawan petri yang berisi  medium TEA steril yang telah ditambahkan chloramfenikol 50 ppm, kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Koloni jamur yang menunjukkan morfologi koloni yang berbeda kemudian masing-masing dipisahkan ke dalam medium PDA kemudian diidentifikasi menurut buku Barnett dan Hunter, 1972.

2.Isolasi dan identifikasi jamur Phytophthora infestans.
Isolat Phytophthora infestans diisolasi dari daun kentang yang positif terinfeksi Phytophthora infestans. Isolasi dilakukan dengan cara isolasi langsung (direct plating), yaitu : daun kentang diambil dan diletakkan pada cawan petri yang berisi TEA steril yang telah ditambahkan chloramfenikol 50 ppm, kemudian diinkubasi pada
suhu ruang selama 3 hari. Koloni kapang yang menunjukkan ciri-ciri Phytophthora infestans dipindahkan dalam medium PDA lainnya dalam cawan petri secara aseptik dan diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Identifikasi menurut Barnett dan Hunter, 1972 untuk memperoleh isolat murni Phytophthora infestans.

3. Uji Antagonisme jamur antagonis isolat lokal terhadap kapang patogen
Phytophthora infestans secara In vitro Isolat Phytophthora infestans yang telah dibiakkan pada media PDA di dalam cawan petri yang berisi media PDA (Potao Dekstrose Agar) dan diinkubasi selama 5 x 24 jam pada suhu 30oC, kemudian dibuat cetakan potongan miselium berbentuk bulat dengan diameter 0,5 cm. Satu  potongan miselium ini kemudian diletakkan berdampingan dengan cetakan miselium koloni jamur antagonis isolat lokal (dual plating). Sebagai kontrol, kapang patogen Phytophthora infestans ditumbuhkan pada medium PDA yang tidak diinokulasikan terlebih dahulu dengan biakan sel jamur antagonis isolate lokal.

HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Isolasi patogen penyebab busuk daun dan umbi tanaman kentang
Kapang patogen Phytophthora infestans berhasil diisolasi dari beberapa lembar daun kentang yang telah positif terinfeksi kapang patogen tersebut yang diambil dari lokasi perkebunan (pembibitan) kentang di Kledung, Kedu Temanggung Jawa Tengah (Gambar 1 dan 2 ). Metode isolasi menggunakan metode isolasi secara langsung (direct method). Beberepa kapang antagonis (3 buah) juga telah berhasil diisolasi dan positif menghambat pertumbuhan kapang patogen Phytophthora infestans yang ditunjukkan pada gambar-gambar di bawah. Penghambatan yang kuat terjadi pada pertumbuhan koloni jamur Trichoderma sp yang ditumbuhkan pada koloni kapang patogen Phytophthora infestans (Gambar 2).
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxmGE4NhDp5FIeQ04TKiAPGnoN31pvdbceHZy3bftrIZer6pnmj9DeMbGH_8dT6DSg2hnlbOHIoNWHO4ZMZd0UrnSvd96j93wWI0b6Ab0IP6176mpX_ut012aJOE9ecCnk54ksmUmH2mEy/s320/Gambar+1.+Busuk+daun+%2528late+blight%2529+pada+daun+tanaman+kentang+oleh+Kapang+patogen+Phytophthora+infestans.jpg
Gambar 1: Busuk daun (late blight) pada daun tanaman kentang oleh Kapang patogen Phytophthora infestans








Description: C:\Users\the polengs\Pictures\New folder\Gambar 2. Isolasi langsung daun tanaman kentang yang terinfeksi kapang patogen Phytophthora infestans pada medium PDA dan TEA.jpg
Gambar 2: Isolasi langsung daun tanaman kentang yang terinfeksi kapang patogen Phytophthora infestans pada medium PDA dan TEA









Koloni kapang patogen Phytophthora infestans pada medium PDA berwarna putih dengan tekstur permuakaan berwarna wolly. Sporangia berbentuk pyriform mempunyai papila berwarna hialin serta permukaannya halus. Sporangiofor bercabang-cabang simpodial, berwarna hialin (Gambar 3).
Gambar 3: Koloni dan gambar mikroskopi kapang patogen Phytophthora infestans pada medium PDA





2. Isolasi kapang –kapang tanah isolat local pada pertanaman kentang
Dari hasil isolasi jamur tanah pada medium PDA diperoleh 3 isolat kapang antagonis, baik yang diisolasi dari pertanaman kentang yang sakit atau yang tidak. Pemilihan isolat didasarkan pada perbedaan morfologi koloni (warna dan bentuk koloni) isolat jamur pada kedua medium tersebut untuk tiap-tiap sampel tanah. Dengan demikian tidak menutupi kemungkinan terdapat isolat-isolat jamur yang sama yang berasal dari beberapa sampel tanah tersebut (Gambar 4).
Gambar 4: Koloni-koloni kapang antagonis yang dapat diisolasi dari tanah pertanaman kentang pada medium PDA.



3. Uji antagonisme secara in vitro
Dari 7 isolat jamur yang diperoleh pada medium PDA, 3 isolat di antaranya bersifat antagonis terhadap kapang pathogen Phytophthora infestans dan berdasarkan pada persamaan sifat morfologi koloninya (warna dan bentuk koloni), maka dari 7 isolat jamur ini dapat dikelompokkan menjadi 3 isolat jamur antagonis yang sama.
Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa dari 1 kelompok jamur antagonis ini  kelompok 1 merupakan kelompok/ marga Trichoderma spp. Yang dicirikan dengan adanya banyak percabangan konidiofor dan konidium terbentuk secara bergerombol pada permukaan sel
konidiofornya (Gambar 5). Mekanisme penghambatan yang terjadi pada uji antagonisme ini adalah hiperparasit yang dapat diamati dengan pertumbuhan miselium Trichoderma spp. yang menutupi seluruh permukaan medium termasuk koloni Phytophthora infestans. Pada hari keenam uji penghambatan jamur Trichoderma sp terhadap pertumbuhan kapang patogen Phytophthora infestans secara in vitro mengalami penghambatan yang paling kuat yang ditandai dengan penutupan koloni kapang Trichoderma sp pada hari keenam umur pertumbuhan Phytophthora infestans (Gambar 6).
Gambar 5: Koloni dan mikroskopi kapang antagonis isolat lokal Trichoderma sp pada medium PDA







Gambar 6: Penutupan koloni kapang pathogen Phytophthora infestans oleh kapang antagonis Trichoderma sp. Pada hari keenam uji antagonisme




Pada isolasi jamur tanah dengan medium PDA ini selain marga Trichoderma spp., juga didapatkan 2 kelompok jamur antagonis yang lain yang berbeda sifat morfologi koloninya. (Tabel 1). Isolat jamur antagonis kelompok 2 merupakan marga Aspergillus. Hal ini dapat dilihat dari morfologi jamur yang khas yaitu adanya vesikel yang berbentuk bulat hingga lonjong, fialid yang terbentuk di seluruh permukaan vesikel dan konidium yang terbentuk secara berantai pada fialid. Koloni pada medium PDA berwarna hitam yang permukaannya kasar (Gambar 7).
Gambar 7: Koloni dan mikroskopi kapang antagonis isolat lokal Aspergillus sp pada medium PDA








Adapun kelompok 3 masih merupakan kelompok jamur yang belum teridentifikasi dengan ciri morfologi yang sama dengan gambar 9. Pada pengamatan secara mikroskopis pada jamur yang belum bisa teridentifikasi hanya dijumpai adanya hifa yang bersekat dan tidak ditemukan adanya konidium atau organ-organ lain yang yang merupakan ciri khas dari jamur.
Gambar 8: Uji antagonisme koloni kapang patogen Phytophthora infestans oleh kapang antagonis Aspergillus sp. Pada hari keenam pada medium PDA







Gambar 9: Uji antagonisme koloni kapang patogen Phytophthora infestans oleh kapang antagonis yang belum diketahui jenisnya.







Mekanisme penghambatan yang terjadi kelompok jamur 2 dan 3 (Aspergillus dan jamur yang belum bisa diidentifikasi) pada uji antagonisme ini adalah antibiosis. Hal ini dapat diketahui dengan terbentuknya zone penghambatan di sekitar koloni jamur antagonis (Gambar 8). Zona penghambatan ini hanya bersifat
sementara karena jika waktu inkubasi diperpanjang maka koloni Phytophthora infestans mampu tumbuh terus melewati zona penghambatan tersebut. Sedangkan pada kelompok 1 (Trichoderma sp), mekanisme
penghambatannya diduga adalah hiperparasit dimana koloni jamur antagonis tumbuh menutupi seluruh permukaan medium termasuk koloni Phytophthora infestans. Gambar uji antagonism tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

KESIMPULAN
1. Kapang T. lignorum dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati terhadap kapang S. rolfsii penyebab busuk batang pada tanaman kacang tanah.
2. Konsentrasi propagul T. lignorum yang paling efektif dalam penelitian ini untuk mengendalikan S. rolfsii adalah 9,0 x 109 propagul/ml. Waktu pemberian propagul T. lignorum yang paling efektif dalam penelitian ini adalah 0 hari sebelum bibit tanaman kacang tanah ditanam.

Pemberantasan Penyakit Tanaman Karet



Pemberantasan Penyakit Tanaman Karet

Penyakit karet sering menimbulkan kerugian ekonomis di perkebunan karet. Kerugian yang ditimbulkannya tidak hanya berupa kehilangan hasil akibat kerusakan tanaman, tetapi juga biaya yang dikeluarkan dalam upaya pengendaliannya. Oleh karena itu langkah-langkah pengendalian secara terpadu dan efisien guna memperkecil kerugian akibat penyakit tersebut perlu dilakukan. Lebih 25 jenis penyakit menimbulkan kerusakan di perkebunan karet. Penyakit tersebut dapat digolongkan berdasarkan nilai kerugian ekonomis yang ditimbulkannya. Penyakit tanaman karet yang umum ditemukan pada perkebunan adalah : 

Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus)
Penyakit akar putih disebabkan oleh jamur Rigidoporus microporus (Rigidoporus lignosus). Penyakit ini mengakibatkan kerusakan pada akar tanaman. Gejala pada daun terlihat pucat kuning dan tepi atau ujung daun terlipat ke dalam. Kemudian daun gugur dan ujung ranting menjadi mati. Ada kalanya terbentuk daun muda, atau bunga dan buah lebih awal. Pada perakaran tanaman sakit tampak benang-benang jamur berwarna putih dan agak tebal (rizomorf). Jamur kadang-kadang membentuk badan buah mirip topi berwarna jingga kekuning-kuningan pada pangkal akar tanaman. Pada serangan berat, akar tanaman menjadi busuk sehingga tanaman mudah tumbang dan mati. Kematian tanaman sering merambat pada tanaman tetangganya. Penularan jamur biasanya berlangsung melalui kontak akar tanaman sehat ke tunggultunggul, sisa akar tanaman atau perakaran tanaman sakit. Penyakit akar putih sering dijumpai pada tanaman karet umur 1-5 tahun terutama pada pertanaman yang bersemak, banyak tunggul atau sisa akar tanaman dan pada tanah gembur atau berpasir.
Pengobatan tanaman sakit sebaiknya dilakukan pada waktu serangan dini untuk mendapatkan keberhasilan pengobatan dan mengurangi resiko kematian tanaman. Bila pengobatan dilakukan pada waktu serangan lanjut maka keberhasilan pengobatan hanya mencapai di bawah 80%. Cara penggunaan dan jenis fungisida anjuran yang dianjurkan adalah :
Pengolesan : Calixin CP, Fomac 2, Ingro Pasta 20 PA dan Shell CP.
Penyiraman : Alto 100 SL, Anvil 50 SC, Bayfidan 250 EC, Bayleton 250 EC,
Calixin 750 EC, Sumiate 12,5 WP dan Vectra 100 SC.
Penaburan : Anjap P, Biotri P, Bayfidan 3 G, Belerang dan Triko SP+

Kekeringan Alur Sadap (Tapping Panel Dryness, Brown Bast)
Penyakit kekeringan alur sadap mengakibatkan kekeringan alur sadap sehingga tidak mengalirkan lateks, namun penyakit ini tidak mematikan tanaman. Penyakit ini disebabkan oleh penyadapan yang terlalu sering, terlebih jika disertai dengan penggunaan bahan perangsang lateks ethepon. Adanya kekeringan alur sadap mula-mula ditandai dengan tidak mengalirnya lateks pada sebagian alur sadap. Kemu-dian dalam beberapa minggu saja kese-luruhan alur sadap ini kering tidak me-ngeluarkan lateks. Bagian yang kering akan berubah warnanya menjadi cokelat karena pada bagian ini terbentuk gum (blendok). Kekeringan kulit tersebut dapat meluas ke kulit lainnya yang seumur, tetapi tidak meluas dari kulit perawan ke kulit pulihan atau sebaliknya. Gejala lain yang ditimbulkan penyakit ini adalah terjadinya pecah-pecah pada kulit dan pembengkakan atau tonjolan pada batang tanaman. 

Pengendalian penyakit ini dilakukan dengan:
Menghindari penyadapan yang terlalu sering dan mengurangi pemakaian Ethepon terutama pada klon yang rentan terhadap kering alur sadap yaitu BPM 1, PB 235, PB 260, PB 330, PR 261 dan RRIC 100. Bila terjadi penurunan kadar karet kering yang terus menerus pada lateks yang dipungut serta peningkatan jumlah pohon yang terkena kering alur sadap sampai 10% pada seluruh areal, maka penyadapan diturunkan intensitasnya dari 1/2S d/2 menjadi 1/2S d/3 atau 1/2S d/4, dan penggunaan Ethepon dikurangi atau dihentikan untuk mencegah agar pohon-pohon lainnya tidak mengalami kering alur sadap.
Pengerokan kulit yang kering sampai batas 3-4 mm dari kambium dengan memakai pisau sadap atau alat pengerok. Kulit yang dikerok dioles dengan bahan perangsang pertumbuhan kulit NoBB atau Antico F-96 sekali satu bulan dengan 3 ulangan. Pengolesan NoBB harus diikuti dengan penyemprotan pestisida Matador 25 EC pada bagian yang dioles sekali seminggu untuk mencegah masuknya kumbang penggerek (Gambar 4.10). Penyadapan dapat dilanjutkan di bawah kulit yang kering atau di panel lainnya yang sehat dengan intensitas rendah (1/2S d/3 atau 1/2S d/4). Hindari penggunaan Ethepon pada pohon yang kena kekeringan alur sadap. Pohon yang mengalami kekeringan alur sadap perlu diberikan pupuk ekstra untuk mempercepat pemulihan kulit.

Artikel Terpopuler